Gambar:

https://www.shutterstock.com/image-photo/batik-painting-waxing-traditional-making-process-1021780396?src=CxfjV9NGfriyW57vm0GDVw-1-3

Di zaman serba cepat ini, semua bisa didapatkan dalam waktu singkat dan mudah. Makanan, pakaian, hiburan, ilmu pengetahuan, dan informasi; hampir segala hal bisa dimiliki dengan instan selama kita memiliki sumber daya yang mendukung. Pada suatu titik, hidup yang serba cepat ini bisa membuat kita, manusia, kewalahan dan tertekan. Dari titik itulah muncul “slow movement”. Belum ada padanan kata yang cukup tepat untuk mengartikan “slow movement” dalam Bahasa Indonesia.

Slow movement menjadi antitesis atau pertentangan dari gaya hidup serba cepat seperti fast fashion dan fast food. Kritik terhadap gaya hidup serba cepat adalah mengenai dampaknya terhadap lingkungan serta degradasi nilai manusia yang terlibat dalam prosesnya. Dalam slow movement, manusia kembali menggunakan gaya hidup yang relatif “jadul” untuk bisa lebih menikmati segala prosesnya.

https://www.shutterstock.com/image-photo/beef-rendang-daging-kind-malay-traditional-1081564436

Misalnya saja slow food yang merupakan antitesis dari fast food. Jika fast food menjual inovasi kecepatannya dalam menyajikan makanan, slow food justru kembali ke proses memasak tradisional meskipun harus memakan waktu lama. Salah satu contoh slow food yang sangat kita kenal adalah rendang yang harus dimasak selama satu malam. Bentuk lain dari slow movement adalah slow fashion yang merupakan antitesis dari fast fashion. Dalam fast fashion, kecepatan menciptakan tren pakaian menjadi tombak utama penjualan. Namun slow fashion kembali ke proses pembuatan pakaian secara tradisional. Mulai dari pengolahan bahan mentah yang kemudian diolah menjadi kain, lalu melewati proses pewarnaan, sampai akhirnya dijadikan pakaian siap pakai; semua proses diperhitungkan agar tidak mencemari lingkungan. Manusia yang terlibat pun mendapat bayaran yang pantas serta jam kerja yang masuk akal.

Demikian pula dengan slow craft, craft atau kriya yang pada dasarnya menitikberatkan keterampilan tangan untuk mengolah bahan mentah menjadi benda fungsional bernilai estetis. Produk kriya menyimpan nilai-nilai tradisi yang merupakan kearifan dari sebuah budaya. Rasanya tidak etis jika produk kriya harus tergerus oleh tuntutan zaman yang meminta kecepatan melebihi value. Slow craft mengajak kita untuk kembali menghargai proses yang harus dilakukan untuk menciptakan produk kriya.

Untuk gambaran mudahnya, mari kita gunakan batik sebagai contoh. Istilah batik merujuk pada proses menggambar dengan malam di atas kain. Kain itu kemudian melewati proses pewarnaan dan terakhir pelorodan atau proses melepaskan lilin pada kain. Jika selembar kain tidak melewati proses-proses itu, kain itu tidak bisa disebut kain batik meskipun motif yang dimiliki serupa. Produk kriya bukan semata-mata produk yang nampak elok jika dipandang, lebih dari itu produk kriya harus melewati proses tertentu hingga bisa disebut produk kriya.

Contoh lain dari produk kriya adalah kain seperti kain songket Minangkabau, kain ulos Batak, dan kain gringsing Bali. Selain kain, ada juga kriya keramik misalnya dari Yogyakarta dan Cirebon. Juga masih ada kriya logam dan kriya kayu.

Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/Slow_fashion

https://en.wikipedia.org/wiki/Slow_movement_(culture)

https://www.slowmovement.com

https://www.slowfood.com/about-us/our-philosophy/

https://en.wikipedia.org/wiki/Craft

https://id.wikipedia.org/wiki/Kriya

https://id.wikipedia.org/wiki/Batik

https://www.gotravelly.com/blog/kain-tradisional-indonesia/

https://cara.pro/pengertian-macam-macam-dan-contoh-seni-kriya/